Jumat, 17 Maret 2017

Makalah Pendidikan Inklusif



PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.    Apa pengertian pendidikan inklusif?
2.    Apa kategori siswa pendidikan inklusif?
3.    Apa prinsip dasar pendidikan inklusif?
4.    Apa tujuan pendidikan inklusif?
5.    Apa landasan pendidikan inklusif?
6.    Apa tantangan implementasi pendidikan inklusif?
7.    Bagaimana tanggung jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI?
8.    Bagaimana Analisis Kritis Tentang Pendidikan inklusif?

  
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Pendidikan Inklusif
Istilah Inklusi berasal dari bahasa Inggris inclusion yang berarti sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan,  interaksi  sosial  dan  konsep  diri  atau  visi  misi  sekolah.[1] Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak” harus  cukup  jelas,  dan  masih  sulit  bagi  banyak  orang  untuk  memahaminya.[2]
Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:
1.    Menurut Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
2.    Staub dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun kelainan jenisnya. [3]
3.    Sirinam Khalsa pendidikan inklusif adalah suatu cara untuk menghilangkan model segregasi atau pemisahan anak-anak berkelainan yang belajar dengan cara yang berbeda.[4]
4.    Sapon-Shevin yang dikutip Geniofam mendefinisikan pendidikan inklusif adalah sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.[5]
5.    Depdiknas menegaskan bahwa pendidikan inklusif didefinisikan sebagai Sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.[6]Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah untuk melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik (siswa).
6.    Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya.[7]
Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik  atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.
Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.

B.  Kategori Siswa Pendidikan Inklusif
Dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki kecerdasan ddan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian pada pasal 3 disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.[8]
Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.[9] Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa.[10]
Adapun yang termasuk anak dengan kebutuhan khusus adalah:[11]
1.    Anak tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.
2.    Anak tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan mendengar sebagian.
3.    Anak tunagrahita, yaitu anak yang memiliki keterbatasan perkembangan fungsi-fungsi inteligensi, kapasitas inteligensinya berada di bawah rata-rata anak.
4.    Anak tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.
5.    Anak tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan psikologis, atau anak dengan hambatan mental.
6.    Anak berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang terkait atau pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai dengan kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.
7.    Anak lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan dengan IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.
8.    Anak berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ yang secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik tertentu.
9.    Anak autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.
C.  Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif
Prinsip pendidikan inklusif  berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya:[12]
1.    Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa.
Pendidikan inklusif merepresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan saja menolak diskriminasi dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak azazi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman.
2.    Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.
Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.
3.    Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances.
Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu melakukan check dan balances. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances. Sangat antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.
Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah inklusi  sebagai berikut:[13]
1.    Prinsip motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2.    Prinsip latar/konteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
3.    Prinsip keterarahan
Setiap anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
4.    Prinsip hubungan sosial
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
5.    Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.
6.    Prinsip individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
7.    Prinsip menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.
8.    Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.

D.  Tujuan Pendidikan Inklusif
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2  ayat 1 dan 2 menjelaskan pendidikan inklusi bertujuan untuk:
1.    Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2.    Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah:[14]
1.    Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
2.    Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3.    Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4.    Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5.    Memenuhi amanat konstitusi.
Tujuan pendidikan inklusi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.
Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat. Secara lebih rinci, Tarmansyah menjelaskan tujuan pendidikan inklusif.[15] Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar dalam seting inklusif antara lain:
1.    Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.
2.    Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
3.    Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guru-guru yang berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
4.    Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran.
Tujuan yang dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah:
1.    Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam seting inklusif.
2.    Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.
3.    Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.
4.    Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat dan anak dalam situasi yang beragam.
5.    Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara pro aktif, kreatif dan kritis.
Dalam pendidikan inklusif, guru akan memperoleh kepuasan kerja dan pencapaian prestasi yang lebih tinggi ketika semua peserta didik mencapai keberhasilan. Dalam sekolah inklusif akan tercipta nuansa yang ramah terhadap pembelajaran dan terbuka kesempatan bagi para relawan untuk membantu pelaksanaan pembelajaran di kelas bekerjasama dengan guru-guru.
Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1.    Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara-cara mendidik anaknya, cara membimbing anaknya lebih baik di rumah dengan menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.
2.    Mereka secara pribadi terlibat dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.
3.    Orang tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya. Dengan pelaksanaan pendidikan inklusif orang tua akan dapat berinteraksi dengan orang lain, serta memahami dan membantu memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat.
4.    Orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masin individu anak.
Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain:
1.    Masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti pendidikan di sekolah yang ada dilingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan dikurangi dengan adanya layanan pendidikan inklusif untuk semua.
2.    Semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang potensial. Lebih penting adalah masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.

E.  Landasan Pendidikan Inklusif
1.    Landasan Religius
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan inklusif  tidak bisa lepas dari konteks agama karena pendidikan merupakan tangga utama dalam mengenal Allah swt. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang landasan religius dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu:
a.    Surat An-Nur ayat 61
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعاً أَوْ أَشْتَاتاً فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون ﴿٦١﴾
Artinya:“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”.

Makna yang tersirat dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah swt tidak membeda-bedakan kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat normal adalah masyarakat yang berada pada nuansa yang holistik dengan menerima adanya perbedaan sebagai anugerah Maha Pencipta, ada siang ada malam, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang cacat dan ada yang tidak cacat merupakan kehidupan yang terintegrasi menjadi suatu kehidupan sosial yang harmonis sehingga nampak indah.
b.    Surat Abasa ayat 1-4
عَبَسَ وَتَوَلَّى ﴿١﴾ أَن جَاءهُ الْأَعْمَى ﴿٢﴾ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى ﴿٣﴾ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَى ﴿٤﴾
Artinya: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa'at kepadanya?

Ayat ini memberikan gambaran bahwa Allah swt sangat tidak senang terhadap manusia yang tidak memperdulikan orang cacat. Ayat ini menceritakan kisah seorang buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah meminta ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Rasulullah berpaling dan bermuka masam darinya karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan mengharapkan pembesar Quraisy tersebut masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagai teguran Allah kepada rasul-Nya.
c.    Surat Al-Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat tersebut memberikan perintah kepada kita, agar saling ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal dengan siapapun, tidak memandang latar belakang sosial, ekonomi, ras, suku, bangsa dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu universal, yang memandang kepada semua manusia dihadapan Allah adalah sama, justru hanya tingkat ketakwaannyalah menyebabkan manusia mulia dihadapan Allah swt. 
d.   Surat Al-Maidah ayat 2
...وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
Artinya: “...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Ayat ini juga memberikan perintah kepada kita agar kita memberikan pertolongan kepada siapa saja, terutama kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang keluarga dan dari mana ia berasal, lebih-lebih mereka yang mengalami keterbatasan atau kecacatan fisik, contoh tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunagrahita, tunalaras dan lain-lain.
Hal tersebut merupakan kepercayaan, akidah keimanan yang dapat dijadikan pegangan, bahwa sistem inklusif bukan hal yang baru bagi kita, bukan suatu perubahan paradigma. Inklusif adalah fitrah yang harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh kasih sayang. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat, kadangkala masih adanya rasa was-was dan kekhawatiran dari personal penyelenggara pendidikan untuk menerima anak-anak yang cacat menjadi bagian dalam lembaga pendidikannya, karena mereka takut citra lembaganya akan menurun karena kehadiran mereka yang cacat berada di dalamnya.
2.    Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinnekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri. Sedangkan kebhinnekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman dengan kesamaan misi yang diemban, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Aspek vertikal dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam landasan pendidikan inklusif yang merangkul semua kalangan untuk bersatu padu dalam bingkai keberagaman.
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu. Sebaliknya, dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
3.    Landasan Yuridis
a.    Konvensi Hak Anak Tahun 1989 
b.    Perlindungan Anak Nasional Tahun 1998
c.    Peraturan Standar Persamaan Para Penyandang Cacat Tahun 1993
d.   Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994
e.    Deklarasi Dakar Tahun 2000
f.     Deklarasi Bandung Tahun 2004
g.    Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Indonesia
Adapun kebijakan dan peraturan perundang-undangan secara nasional yang mendukung penyelenggaran pendidikan inklusif saat ini merujuk pada UUD 1945 alenia ke 4 pasal 31 ayat 1, UU Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat dalam pasal 6 ayat 1, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 9 ayat 2, pasal 51 dan pasal 52, UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 15, serta Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan kecerdasan bakat/istimewa dalam dalam pasal 3 ayat 1, pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 1, 2, dan 3. 
4.    Landasan Pedagogis
Manusia dapat dididik sekaligus dapat mendidik serta saling mendidik sesamanya. Seorang manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya hanya melalui pendidikan yang dilakukan oleh manusia lainnya. Pendidikan hanya mungkin terjadi apabila manusia itu berhubungan dengan manusia lainnya yang menyelenggarakan pendidikan. 
5.    Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara Barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of Sciences (Amerika Serikat). Beberapa peneliti kemudian menyimpulkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

F.   Tantangan Implementasi Pendidikan Inklusif
Ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus yaitu:[16]
1.    Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2.    Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragaman.
3.    Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Naional pasal 41 ayat 1 tentang keharusan memiliki tenaga kependidiakn khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan yang ditandai dengan munculnya gejala “ekslusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
4.    Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
5.    Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya mengakmodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah dan sebagainya. Padahal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
6.    Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah berstandar nasional (SNI), sekolah rintisan berstandar nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi serta sekolah-sekolah yang berbasis agama.  Kondisi ini tentu dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua karena menerima anak berkebutuhan khusus dengan sekolah special school.
7.    Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.

G. Tanggung Jawab LPTK Pendidikan Islam Terhadap Guru PAI
LPTK memiliki peran serta dalam penyelenggaraan sekolah inklusif khususnya dalam menyediakan SDM tenaga kependidikan. Berikut ini dijelaskan tentang tanggung jawab LPTK dalam menjawab tantangan tersebut, yakni sebagai lembaga yang seharusnya mengikuti kebutuhan masyarakat dan selalu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pendidikan. Tanggung jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI, diantaranya yaitu:
1.    Perguruan Tinggi (LPTK) Pendidikan Islam sebagai tempat penyedia SDM yang berkualitas. Berkaitan dengan kualitas lulusannya, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah kurikulum. Kurikulum yang ditawarkan kepada mahasiswa sebagai calon guru nantinya seharusnya bersifat dinamis, artinya mampu menjawab kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan sesuai perkembangan paradigma pendidikan dan berkembangnya ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat.
2.    Perguruan Tinggi (LPTK) Pendidikan Islam sebaiknya memiliki sekolah binaan sebagai tempat mahasiswanya mempraktekkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di bangku kuliah. Sekolah binaan merupakan laboratorium mahasiswa dalam mengasah pengetahuannya dan mengembangkan keterampilannya, sehingga selepas dari Perguruan Tinggi mereka merupakan tenaga siap pakai (ready for use).
3.    Melaksanakan sosialisasi tentang anak berkebutuhan khusus kepada guru melalui seminar, workshop dan lain sebagainya, sehingga guru memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus yang valid. Dengan berubahnya pola pikir guru tentang anak berkebutuhan khusus, maka perlakuan mereka terhadap anak berkebutuhan khusus dapat berubah dan anak berkebutuhan khusus bukan lagi kelompok marginal yang perlu penanganan serius.

H.    Analisis Kritis Tentang Pendidikan Inklusif
Kebijakan pemerintah sebagai komitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, dapat ditandai dengan lahirnya Undang-Undang sebagai berikut:
1.      UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang pernyandang anak cacat
2.      UU No. 23 tahun 2002 pasal 48 dan 49 tentang perlindungan anak
3.      UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang system pendidikan Nasional.
4.      Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
5.      PP No. 17 tahun 2010 pasal 127 sampai dengan 142, tentang  Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Bahkan pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek ujicoba di sembilan propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah regular. Pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus, sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar di 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.[17]
Hal ini berarti pemerintah telah berupaya untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Dari data yang diperoleh, tampaknya implementasi yang telah dilakukan menunjukan kuantitas yang progresif, namun pertanyaannya, apakah benar implementasi tersebut telah berhasil? Seperti dikatakan Pressman dan Wildavsky dalam Solichin Abdul Wahab bahwa: “proses untuk melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Oleh sebab itu, keliru jika kita menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya  akan berlangsung mulus.[18] Sedangkan Hogwood & Gunn dalam Solichin Abdul Wahab, juga mengatakan bahwa kebijakan public itu sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.[19] Kegagalan dalam implementasi kebijakan  bisa dilihat dari dua kategori besar, yaitu non-implemetation dan unsuccessfull implementation. Dalam kontek pendapat Hogwood & Gunn, apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakannya tidak termasuk dalam dua kategori ini, namun juga tidak serta merta dianggap sebagai keberhasilan yang mutlak.
Untuk mengevaluasi apakah implementasi kebijakan tersebut sudah berhasil atau belum, maka harus pula ditinjau dari sisi makna pendidikan inklusi dan konten kebijakan yang melandasi implementasi kebijakannya. Misalnya dalam makna pendidikan inklusi disebutkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 pasal 1 menyebutkan, bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Kemudian dilanjutkan dalam pasal 2, bahwa Pendidikan inklusif bertujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan. b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Pertanyaannya makna tersebut di atas telah terwujud menjadi sebuah kenyataan dalam implementasi kebijakan? Tentunya hal ini masih dapat disanggah dengan perkataan mana mungkin kebijakan itu mampu menghasilkan perubahan seketika. Apapun sanggahannya evaluasi tetap harus diarahkan pada pemahaman makna dari pendidikan inklusif itu sendiri.
Berikut dari sisi konten kebijakan yang terdapat dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 pasal 3, yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Melalui pendidikan peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yakni individu yang mampu menghargai perbedaan, berpartisipasi dalam masyarakat. Tentunya ini masih menjadi pekerjaan besar untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Belum lagi pada kenyataan yang riil, yang terjadi di lapangan tentang pendidikan inklusif saat ini. Walaupun sudah diterbitkan kebijakan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum, namun dalam implentasinya masih banyak persoalan-persoalan yang terjadi, misalnya:
1.      Isu pemahaman pendidikan inklusif yang masih disamakan dengan integrasi, sehingga siswa harus menyesuaikan dengan sistem di sekolah.
2.      Isu kebijakan sekolah yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus dengan dalih tidak memiliki tenaga pendidik, fasilitas dan sebagainya.
3.      Isu tentang proses pembelajaran, misalnya guru masih belum bisa menerjemahkan kurikulum yang fleksibel, menentukan tujuan sampai pada evaluasi.
4.      Isu kondisi guru, belum adanya guru yang memiliki kualitas memadai sebagai guru pendidikan inklusif.
5.      Isu tentang lingkungan, dan sebagainya.
Dari berbagai dilema yang terjadi pada pendidikan inklusif di Indonesia,  setidaknya harus segera diantisipasi dengan kebijakan-kebijakan khusus agar tidak menghalangi pelaksanaan implementasi kebijakan tentang pendidikan inklusif. Menurut Sunardi ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus, yakni:[20]
1.      Sistem penerimaan siswa baru, khususnya di tingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2.      Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragaman.
3.      Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 tentang keharusan untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala esklusivisme baru, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusif.
4.      Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
5.      Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah reguler, tanpa upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
6.      Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap eklusivisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Favorit, Sekolah Percontohan, Kelas Akselerasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak kepada sekolah inklusif sebagai sekolah kelas dua (second class), karena menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) sama dengan special school (sekolah khusus).
7.      Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.

PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
2.      Kategori siswa pendidikan inklusi yaitu peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
3.      Prinsip dasar pendidikan inklusif yaitu: a) pendidikan inklusif membuka kesempatan kesempatan kepada semua jenis siswa, b) pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling, c) pendidikan inklusif selalu melakukan check dan balances. Sedangkan prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalam sekolah inklusif  yaitu: a) prinsip motivasi, b) prinsip latar/konteks, c) prinsip keterarahan, d) prinsip hubungan sosial, e) prinsip belajar sambil bekerja, f) prinsip individualisasi, g) prinsip menemukan, h) prinsip pemecahan masalah.
4.      Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
5.      Landasan pendidikan inklusif yaitu: a) landasan religius, b) landasan filosofis, c) landasan yuridis, d) landasan pedagogis, e) landasan empiris.
6.      Ada beberapa tantangan implementasi pendidikan inklusif yang harus ditangani secara bijak dan serius sehingga pelaksanaan pendidikan inklusi berhasil.
7.      Tanggung jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu: a) sebagai tempat penyedia SDM yang berkualitas, b) melaksanakan sosialisasi tentang anak berkebutuhan khusus kepada guru melalui seminar, workshop dan lain sebagainya, sehingga guru memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus yang valid.

B.  Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran, saran serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an dan Terjemahnya.

Undang-Undang Dasar

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Abdul Wahab, Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan public, Malang: UMM Press, 2011.

Direktorat Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Jakarta: Depdiknas, 2007.

Geniofam, Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Gerai Ilmu, 2010.

Ilahi, Mohammad Takdir, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Iswari, Mega, Kecakapan Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, Padang: UNP Press, 2008.
Khalsa, Sirinam, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, Laverett: Permission Publisher, 2004.

Mudjito dkk, Pendidikan Inklusif, Jakarta: Baduose Media, 2012.

R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, Surabaya: Universitas Sebelas Maret, 2013.

Sapon-Shevin, Mara, Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms, Boston: Bacon Press, 2007.

Smith, David Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Nuansa, 2012.

Sunardi, Issues and Problems on Implementation of Inclusive Education for Disable Children in Indonesia, Tsubaka: Criced-University of Tsubaka, 2009.

Sunaryo, Manajemen Pendidikan Inklusi, Bandung: FIP UPI, 2009.

Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif, Padang: UNP Press, 2009.


[1]David Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, (Bandung: Nuansa, 2012), h. 45 
[2]Mara Sapon-Shevin, Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms, (Boston: Bacon Press, 2007), h. 10
[3]Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif Pendidikan Untuk Semua, (Padang:UNP Press, 2009), h. 76
[4]Sirinam Khalsa, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, (Laverett: Permission Publisher, 2004), h. 2
[5]Geniofam, Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Gerai Ilmu, 2010), h. 61
[6]Direktorat Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, (Jakarta: Depdiknas, 2007), h. 4
[7]Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1
[8] Permendinas Nomor 70 tahun 2009, pasal 3
[9]Mega Iswari, Kecakapan Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, (Padang: UNP Press, 2008), h. 40
[10]Mudjito dkk, Pendidikan Inklusif, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25
[11]Mega Iswari, op.cit., h. 45-76
[12]Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif: Konsep dan aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 51-52
[13]R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, (Surabaya: Universitas Sebelas Maret, 2013), h. 21-22
[14]Direktorat Pembinaan SLB, op.cit., h. 3-4
[15]Tarmansyah, op.cit., h. 105-107
[16]Sunaryo, Manajemen Pendidikan Inklusi, (Bandung: FIP UPI, 2009), h. 9-10
[17]Sunardi, Issues and Problems on Implementation of Inclusive Education for Disable Children in Indonesia, (Tsubaka: Criced-University of Tsubaka, 2009), h. 6
[18]Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan public, (Malang: UMM Press, 2011), h. 135
[19]Ibid., h. 128-129
[20] Sunardi, op.cit., h. 20