PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena
itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki
perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal
31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi
keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang
berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik
maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini
telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas
keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan
kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan
derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme
tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal
antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam
interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang
teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab
dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa
keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di
sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan
dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus selama ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
pembahasan ini adalah:
1. Apa pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa kategori siswa pendidikan inklusif?
3. Apa prinsip dasar pendidikan inklusif?
4. Apa tujuan pendidikan inklusif?
5. Apa landasan pendidikan inklusif?
6. Apa tantangan implementasi pendidikan inklusif?
7. Bagaimana tanggung jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI?
8. Bagaimana Analisis Kritis Tentang
Pendidikan inklusif?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Inklusif
Istilah
Inklusi berasal dari bahasa Inggris “inclusion” yang berarti sebagai penerimaan anak-anak
yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, interaksi sosial dan
konsep
diri
atau
visi
misi
sekolah.[1] Inklusif juga dapat diartikan sebagai
cara berfikir dan bertindak yang
memungkinkan setiap individu
merasakan diterima dan dihargai.
Lebih jauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun
konsep “semua anak” harus cukup jelas,
dan
masih
sulit
bagi banyak orang untuk memahaminya.[2]
Para ahli
pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada
dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan
mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:
1.
Menurut
Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di
kelas yang sama.
2.
Staub
dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan
ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas
reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun
kelainan jenisnya. [3]
3.
Sirinam Khalsa pendidikan inklusif adalah
suatu cara untuk menghilangkan model segregasi atau
pemisahan anak-anak berkelainan yang belajar dengan
cara yang berbeda.[4]
4.
Sapon-Shevin
yang dikutip Geniofam mendefinisikan pendidikan
inklusif adalah sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar
semua anak berkelainan dilayani di
sekolah-sekolah terdekat di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.[5]
5.
Depdiknas menegaskan
bahwa pendidikan inklusif didefinisikan sebagai Sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan
khusus belajar bersama dengan anak
sebayanya di sekolah reguler yang
terdekat dengan tempat tinggalnya.[6]Dengan demikian
penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut
pihak sekolah untuk melakukan
penyesuaian baik dari segi
kurikulum, sarana prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik peserta didik (siswa).
6.
Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan
pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik umumnya.[7]
Pendidikan
inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini
harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan
pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah. Anak
dari kelompok etnis minoritas, linguistik
atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung
atau termajinalisasi.
Inti pendidikan
inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang diinformasikan
pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya adalah
hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah
bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak
didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,
kemampuan dan lain-lain.
Jadi dapat
disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar
biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam
satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
B.
Kategori
Siswa Pendidikan Inklusif
Dalam
Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki
kecerdasan ddan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif
pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Kemudian pada pasal 3 disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan
sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki
gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat
adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.[8]
Anak berkebutuhan
khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan
sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi,
sosial, atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami
hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan
layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.[9]
Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat
dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa.[10]
Adapun yang termasuk anak dengan kebutuhan khusus adalah:[11]
1.
Anak
tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan
sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan
pendidikan khusus.
2.
Anak
tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik
kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan
mendengar sebagian.
3.
Anak
tunagrahita, yaitu anak yang memiliki keterbatasan perkembangan fungsi-fungsi
inteligensi, kapasitas inteligensinya berada di bawah rata-rata anak.
4.
Anak
tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa
sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.
5.
Anak
tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan
psikologis, atau anak dengan hambatan mental.
6.
Anak
berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam
belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang
terkait atau pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai
dengan kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.
7.
Anak
lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan
dengan IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.
8.
Anak
berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ
yang secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik
tertentu.
9.
Anak
autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia
hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan
seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.
C.
Prinsip
Dasar Pendidikan Inklusif
Prinsip
pendidikan inklusif berkaitan langsung
dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh
pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa
prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya:[12]
1.
Pendidikan
inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa.
Pendidikan
inklusif merepresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari
lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan saja menolak diskriminasi
dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak azazi manusia yang
terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi
konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan
perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik
maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya
menghargai perbedaan dalam keberagaman.
2.
Pendidikan
inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.
Prinsip dasar
yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu
yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan
pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif
yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan
saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan,
melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara
sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya
inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.
3.
Pendidikan
inklusif selalu melakukan Check dan Balances.
Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah
selalu melakukan check dan balances. Kehadiran pendidikan
inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana
belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam
penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances. Sangat
antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan
alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan
tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.
Menurut Indianto, prinsip pembelajaran
yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah inklusi sebagai berikut:[13]
1. Prinsip
motivasi
Guru
harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah
dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2. Prinsip
latar/konteks
Guru
perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber
belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari
pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu
bagi anak.
3. Prinsip
keterarahan
Setiap
anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara
jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi
pembelajaran yang tepat.
4. Prinsip
hubungan sosial
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang
mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa,
guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
5. Prinsip
belajar sambil bekerja
Dalam
kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk
melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan,
penelitian dan sebagainya.
6. Prinsip
individualisasi
Guru
perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam,
baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap
kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang
sesuai.
7. Prinsip
menemukan
Guru
perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk
terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.
8. Prinsip
pemecahan masalah
Guru
hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan
sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan
memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.
D.
Tujuan
Pendidikan Inklusif
Peraturan
Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan pendidikan inklusi
bertujuan untuk:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Buku
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah:[14]
1. Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya,
termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
2. Membantu mempercepat
program wajib belajar
pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan
sistem pendidikan yang
menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5. Memenuhi amanat konstitusi.
Tujuan pendidikan inklusi di atas dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi adalah untuk menjamin hak setiap
warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak
berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.
Tujuan praktis
yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat
dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat. Secara lebih
rinci, Tarmansyah menjelaskan tujuan pendidikan inklusif.[15]
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar
dalam seting inklusif antara lain:
1.
Berkembangnya
kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang
diperolehnya.
2.
Anak
dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran
yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
3.
Anak
mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guru-guru yang
berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
4.
Anak
dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam
mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif
dalam pembelajaran.
Tujuan yang
dapat dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah:
1.
Guru
akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam seting inklusif.
2.
Terampil
dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang
beragam.
3.
Mampu
mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.
4.
Bersikap
positif terhadap orang tua, masyarakat dan anak dalam situasi yang beragam.
5.
Mempunyai
peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan
baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan sekolah maupun di lingkungan
masyarakat secara pro aktif, kreatif dan kritis.
Dalam
pendidikan inklusif, guru akan memperoleh kepuasan kerja dan pencapaian
prestasi yang lebih tinggi ketika semua peserta didik mencapai keberhasilan.
Dalam sekolah inklusif akan tercipta nuansa yang ramah terhadap pembelajaran
dan terbuka kesempatan bagi para relawan untuk membantu pelaksanaan
pembelajaran di kelas bekerjasama dengan guru-guru.
Tujuan yang
akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1.
Para
orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara-cara mendidik
anaknya, cara membimbing anaknya lebih baik di rumah dengan menggunakan teknik
yang digunakan guru di sekolah.
2.
Mereka
secara pribadi terlibat dan akan merasakan keberadaannya menjadi lebih penting
dalam membantu anak untuk belajar.
3.
Orang
tua akan merasa dihargai, mereka merasa dirinya sebagai mitra sejajar dalam
memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya. Dengan
pelaksanaan pendidikan inklusif orang tua akan dapat berinteraksi dengan orang
lain, serta memahami dan membantu memecahkan masalah yang terjadi di lingkungan
masyarakat.
4.
Orang
tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang ada di sekolah, menerima
pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan masing-masin individu anak.
Tujuan yang
diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan inklusif
antara lain:
1.
Masyarakat
akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak mengikuti pendidikan
di sekolah yang ada dilingkungannya. Masyarakat dapat melihat bahwa masalah
yang menyebabkan penyimpangan sosial yang menjadi penyakit masyarakat akan
dikurangi dengan adanya layanan pendidikan inklusif untuk semua.
2.
Semua
anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber daya yang
potensial. Lebih penting adalah masyarakat akan lebih terlibat di sekolah dalam
rangka menciptakan hubungan yang lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
E.
Landasan
Pendidikan Inklusif
1.
Landasan
Religius
Sebagai bangsa
yang beragama, penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak bisa lepas dari konteks agama karena
pendidikan merupakan tangga utama dalam mengenal Allah swt. Ada banyak ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang landasan religius dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif yaitu:
a.
Surat
An-Nur ayat 61
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا
عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ
بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعاً أَوْ أَشْتَاتاً فَإِذَا دَخَلْتُم
بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً
طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون
﴿٦١﴾
Artinya:“Tidak
ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula)
bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama
mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu,
di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan,
di rumah saudara bapakmu yang laki-laki di rumah saudara bapakmu yang
perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki di rumah saudara ibumu yang
perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.
Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”.
Makna yang
tersirat dalam ayat tersebut adalah bahwa Allah swt tidak membeda-bedakan
kondisi, keadaan dan kemampuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat normal adalah masyarakat yang berada pada nuansa yang holistik
dengan menerima adanya perbedaan sebagai anugerah Maha Pencipta, ada siang ada
malam, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang cacat dan ada yang tidak cacat
merupakan kehidupan yang terintegrasi menjadi suatu kehidupan sosial yang
harmonis sehingga nampak indah.
b.
Surat
Abasa ayat 1-4
عَبَسَ وَتَوَلَّى ﴿١﴾ أَن جَاءهُ الْأَعْمَى ﴿٢﴾ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ
يَزَّكَّى ﴿٣﴾ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَى ﴿٤﴾
Artinya: “Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, Karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa'at
kepadanya?
Ayat ini
memberikan gambaran bahwa Allah swt sangat tidak senang terhadap manusia yang
tidak memperdulikan orang cacat. Ayat ini menceritakan kisah seorang buta yang
bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah meminta
ajaran-ajaran tentang Islam, lalu Rasulullah berpaling dan bermuka masam
darinya karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan mengharapkan
pembesar Quraisy tersebut masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagai teguran
Allah kepada rasul-Nya.
c.
Surat
Al-Hujurat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾
Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat tersebut
memberikan perintah kepada kita, agar saling ta’aruf, yaitu saling kenal
mengenal dengan siapapun, tidak memandang latar belakang sosial, ekonomi, ras,
suku, bangsa dan bahkan agama. Inilah konsep Islam yang begitu universal, yang
memandang kepada semua manusia dihadapan Allah adalah sama, justru hanya tingkat
ketakwaannyalah menyebabkan manusia mulia dihadapan Allah swt.
d.
Surat
Al-Maidah ayat 2
...وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
Artinya: “...Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Ayat ini juga
memberikan perintah kepada kita agar kita memberikan pertolongan kepada siapa
saja, terutama kepada mereka yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang
keluarga dan dari mana ia berasal, lebih-lebih mereka yang mengalami
keterbatasan atau kecacatan fisik, contoh tunanetra, tunadaksa, tunarungu,
tunagrahita, tunalaras dan lain-lain.
Hal tersebut
merupakan kepercayaan, akidah keimanan yang dapat dijadikan pegangan, bahwa
sistem inklusif bukan hal yang baru bagi kita, bukan suatu perubahan paradigma.
Inklusif adalah fitrah yang harus menjadi kewajiban manusia dalam menjalani
hidup dan kehidupan dengan penuh kasih sayang. Namun pada kenyataannya dalam
masyarakat, kadangkala masih adanya rasa was-was dan kekhawatiran dari personal
penyelenggara pendidikan untuk menerima anak-anak yang cacat menjadi bagian
dalam lembaga pendidikannya, karena mereka takut citra lembaganya akan menurun
karena kehadiran mereka yang cacat berada di dalamnya.
2.
Landasan
Filosofis
Landasan
filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila
yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang
lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika. Filosofi ini sebagai
wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik kebhinnekaan vertikal maupun
horizontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinnekaan
vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan
finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri. Sedangkan kebhinnekaan
horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama,
tempat tinggal, daerah, afiliasi politik. Walaupun diwarnai dengan keberagaman
dengan kesamaan misi yang diemban, menjadi kewajiban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Aspek vertikal
dan horizontal dalam kebhinnekaan sesungguhnya merupakan bagian penting dalam
landasan pendidikan inklusif yang merangkul semua kalangan untuk bersatu padu
dalam bingkai keberagaman.
Bertolak dari
filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah
satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya atau
agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan
keunggulan-keunggulan tertentu. Sebaliknya, dalam diri individu berbakat pasti
terdapat juga kecacatan tertentu karena tidak ada makhluk di bumi ini yang
diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik
satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.
Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh dengan semangat
toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Landasan
Yuridis
a.
Konvensi
Hak Anak Tahun 1989
b.
Perlindungan
Anak Nasional Tahun 1998
c.
Peraturan
Standar Persamaan Para Penyandang Cacat Tahun 1993
d.
Pernyataan
Salamanca dan Kerangka Aksi Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus Tahun 1994
e.
Deklarasi
Dakar Tahun 2000
f.
Deklarasi
Bandung Tahun 2004
g.
Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Indonesia
Adapun
kebijakan dan peraturan perundang-undangan secara nasional yang mendukung
penyelenggaran pendidikan inklusif saat ini merujuk pada UUD 1945 alenia ke 4
pasal 31 ayat 1, UU Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat dalam pasal 6
ayat 1, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal 9 ayat 2,
pasal 51 dan pasal 52, UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 15, serta Permendiknas Nomor
70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan kecerdasan bakat/istimewa dalam dalam pasal 3 ayat 1, pasal 5 ayat
2, pasal 6 ayat 1, 2, dan 3.
4.
Landasan
Pedagogis
Manusia dapat
dididik sekaligus dapat mendidik serta saling mendidik sesamanya. Seorang
manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya hanya melalui pendidikan yang
dilakukan oleh manusia lainnya. Pendidikan hanya mungkin terjadi apabila
manusia itu berhubungan dengan manusia lainnya yang menyelenggarakan
pendidikan.
5.
Landasan
Empiris
Penelitian
tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara Barat sejak 1980-an,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy Of
Sciences (Amerika Serikat). Beberapa peneliti kemudian menyimpulkan bahwa
pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik
maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
F.
Tantangan
Implementasi Pendidikan Inklusif
Ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus
yaitu:[16]
1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan
menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria
penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi
standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria
sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan
siswa secara komprehensif sesuai dengan keragaman.
3. Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Naional pasal 41 ayat 1 tentang
keharusan memiliki tenaga kependidiakn khusus bagi sekolah inklusif sebagai
alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang
bersangkutan yang ditandai dengan munculnya gejala “ekslusivisme baru”, yaitu
menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus
atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi
keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
5. Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu
semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa
upaya mengakmodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap
tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak,
tidak nyaman, sedih, marah dan sebagainya. Padahal makna inklusif adalah ketika
lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah,
bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam
kebersamaan.
6. Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah
maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah
unggulan, sekolah berstandar nasional (SNI), sekolah rintisan berstandar
nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi serta
sekolah-sekolah yang berbasis agama.
Kondisi ini tentu dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah
kelas dua karena menerima anak berkebutuhan khusus dengan sekolah special
school.
7. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari
aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya maupun uji coba metode pembelajaran,
sehingga hanya terkesan program eksperimental.
G.
Tanggung
Jawab LPTK Pendidikan Islam Terhadap Guru PAI
LPTK memiliki
peran serta dalam penyelenggaraan sekolah inklusif khususnya dalam menyediakan
SDM tenaga kependidikan. Berikut ini dijelaskan tentang tanggung jawab LPTK
dalam menjawab tantangan tersebut, yakni sebagai lembaga yang seharusnya
mengikuti kebutuhan masyarakat dan selalu mengembangkan diri sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pendidikan. Tanggung
jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI, diantaranya yaitu:
1.
Perguruan Tinggi (LPTK) Pendidikan Islam sebagai tempat penyedia SDM yang berkualitas. Berkaitan dengan
kualitas lulusannya, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah
kurikulum. Kurikulum yang ditawarkan kepada mahasiswa sebagai calon guru
nantinya seharusnya bersifat dinamis, artinya mampu menjawab kebutuhan
masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan sesuai perkembangan
paradigma pendidikan dan berkembangnya ilmu pengetahuan serta kebutuhan
masyarakat.
2.
Perguruan Tinggi (LPTK) Pendidikan Islam sebaiknya memiliki sekolah
binaan sebagai tempat mahasiswanya mempraktekkan ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh di bangku kuliah. Sekolah binaan merupakan laboratorium mahasiswa
dalam mengasah pengetahuannya dan mengembangkan keterampilannya, sehingga
selepas dari Perguruan Tinggi mereka merupakan tenaga siap pakai (ready for use).
3.
Melaksanakan
sosialisasi tentang anak berkebutuhan khusus kepada guru melalui seminar,
workshop dan lain sebagainya, sehingga guru memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang anak berkebutuhan khusus yang valid. Dengan berubahnya pola pikir guru
tentang anak berkebutuhan khusus, maka perlakuan mereka terhadap anak
berkebutuhan khusus dapat berubah dan anak berkebutuhan khusus bukan lagi
kelompok marginal yang perlu penanganan serius.
H.
Analisis Kritis Tentang Pendidikan Inklusif
Kebijakan pemerintah sebagai komitmen
untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, dapat
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang sebagai berikut:
1.
UU No. 4 tahun 1997
pasal 5 tentang pernyandang anak cacat
2.
UU No. 23 tahun 2002
pasal 48 dan 49 tentang perlindungan anak
3.
UU No. 20 tahun 2003
pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang system pendidikan Nasional.
4.
Permendiknas No. 70
tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
5.
PP No. 17 tahun 2010
pasal 127 sampai dengan 142, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
Bahkan pada tahun 2002 pemerintah secara
resmi mulai melakukan proyek ujicoba di sembilan propinsi yang memiliki pusat
sumber dan sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di
sekolah regular. Pada
tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak
berkebutuhan khusus, sedangkan
pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181 siswa yang tersebar di 796
sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.[17]
Hal ini berarti pemerintah telah
berupaya untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat. Dari data yang
diperoleh, tampaknya implementasi yang telah dilakukan menunjukan kuantitas
yang progresif, namun pertanyaannya, apakah benar implementasi tersebut telah
berhasil? Seperti dikatakan Pressman dan Wildavsky dalam Solichin Abdul Wahab
bahwa: “proses untuk
melaksanakan kebijakan perlu mendapatkan perhatian yang seksama”. Oleh sebab itu,
keliru jika kita menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan
berlangsung mulus.[18] Sedangkan
Hogwood & Gunn dalam
Solichin Abdul Wahab, juga
mengatakan
bahwa kebijakan public itu sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.[19]
Kegagalan dalam implementasi kebijakan bisa dilihat dari dua kategori besar,
yaitu non-implemetation dan unsuccessfull implementation. Dalam
kontek pendapat Hogwood & Gunn, apa yang telah dilakukan pemerintah untuk
mengimplementasikan kebijakannya tidak termasuk dalam dua kategori ini, namun
juga tidak serta merta dianggap sebagai keberhasilan yang mutlak.
Untuk mengevaluasi apakah implementasi
kebijakan tersebut sudah berhasil atau belum, maka harus pula ditinjau dari
sisi makna pendidikan inklusi dan konten kebijakan yang melandasi implementasi kebijakannya.
Misalnya dalam makna pendidikan inklusi disebutkan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 pasal 1 menyebutkan, bahwa
pendidikan inklusif
adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Kemudian dilanjutkan dalam pasal 2,
bahwa Pendidikan inklusif
bertujuan: a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental, dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan.
b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan
tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada
huruf a.
Pertanyaannya makna tersebut di atas telah
terwujud menjadi sebuah kenyataan dalam implementasi kebijakan? Tentunya hal
ini masih dapat disanggah dengan perkataan mana mungkin kebijakan itu mampu menghasilkan perubahan
seketika. Apapun sanggahannya evaluasi tetap harus diarahkan pada pemahaman
makna dari pendidikan inklusif
itu sendiri.
Berikut dari sisi konten kebijakan yang
terdapat dalam UU SISDIKNAS No.
20 Tahun 2003 pasal 3, yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Melalui
pendidikan peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung
jawab,
yakni individu yang mampu menghargai perbedaan, berpartisipasi dalam
masyarakat. Tentunya ini masih menjadi pekerjaan besar untuk mengimplementasikan kebijakan
tersebut.
Belum lagi pada kenyataan yang riil, yang terjadi di
lapangan tentang pendidikan inklusif
saat ini. Walaupun
sudah diterbitkan kebijakan yang secara yuridis mempunyai kekuatan hukum, namun
dalam implentasinya masih banyak persoalan-persoalan yang terjadi, misalnya:
1.
Isu pemahaman
pendidikan inklusif
yang masih disamakan dengan integrasi,
sehingga siswa harus menyesuaikan dengan sistem
di sekolah.
2.
Isu kebijakan sekolah
yang tidak mau menerima siswa berkebutuhan khusus dengan dalih tidak memiliki
tenaga pendidik, fasilitas dan sebagainya.
3.
Isu tentang proses pembelajaran, misalnya
guru masih belum bisa menerjemahkan kurikulum yang fleksibel, menentukan tujuan sampai
pada evaluasi.
4.
Isu kondisi guru, belum
adanya guru yang memiliki kualitas memadai sebagai guru pendidikan inklusif.
5.
Isu tentang lingkungan,
dan sebagainya.
Dari berbagai dilema yang terjadi pada
pendidikan inklusif
di Indonesia, setidaknya harus segera diantisipasi dengan
kebijakan-kebijakan khusus agar tidak menghalangi pelaksanaan implementasi
kebijakan tentang pendidikan inklusif.
Menurut Sunardi ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan
khusus, yakni:[20]
1.
Sistem penerimaan siswa
baru, khususnya di tingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai
ujian nasional sebagai kriteria
penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi
standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
2.
Dijadikannya pencapaian
hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari
kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan
keragaman.
3.
Penggunaan label
sekolah inklusif
dan adanya PP Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 tentang
keharusan untuk memiliki tenaga kependidikan khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan
melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan,
yang ditandai dengan munculnya
gejala esklusivisme baru, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan
belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusif.
4.
Kurikulum pendidikan
umum yang ada sekarang ini belum mengakomodasi keberadaan anak-anak yang
memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
5.
Masih dipahaminya
pendidikan inklusif
secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke
sekolah reguler,
tanpa upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat
menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih,
terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Pada hal makna
inklusif adalah ketika
lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah,
bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam
kebersamaan.
6.
Munculnya label khusus yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap
eklusivisme, seperti Sekolah Unggulan, Sekolah Berstandar Internasional (SBI),
Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Favorit, Sekolah
Percontohan, Kelas Akselerasi, serta sekolah-sekolah yang berbasis agama.
Kondisi ini tentu dapat berdampak kepada sekolah inklusif sebagai sekolah kelas
dua (second class), karena menerima anak
berkebutuhan khusus (ABK) sama dengan special school (sekolah
khusus).
7.
Masih terbatasnya
perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek
sosialisasi, penyiapan sumber
daya,
maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program
eksperimental.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pendidikan
inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan
kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah
umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
2.
Kategori
siswa pendidikan inklusi yaitu peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana
dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan
motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif
lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
3.
Prinsip
dasar pendidikan inklusif yaitu: a) pendidikan inklusif membuka kesempatan
kesempatan kepada semua jenis siswa, b) pendidikan inklusif menghindari semua
aspek negatif labeling, c) pendidikan inklusif selalu melakukan check
dan balances. Sedangkan prinsip pembelajaran yang harus menjadi
perhatian guru dalam sekolah inklusif
yaitu: a) prinsip motivasi, b) prinsip latar/konteks, c) prinsip
keterarahan, d) prinsip hubungan sosial, e) prinsip belajar sambil bekerja, f)
prinsip individualisasi, g) prinsip menemukan, h) prinsip pemecahan masalah.
4. Tujuan
pendidikan inklusif adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan
pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan
membantu meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan
praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat
dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
5.
Landasan
pendidikan inklusif yaitu: a) landasan religius, b) landasan filosofis, c)
landasan yuridis, d) landasan pedagogis, e) landasan empiris.
6.
Ada
beberapa tantangan implementasi pendidikan inklusif yang harus ditangani secara
bijak dan serius sehingga pelaksanaan pendidikan inklusi berhasil.
7.
Tanggung
jawab LPTK pendidikan Islam terhadap guru PAI dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif yaitu: a) sebagai tempat penyedia SDM yang berkualitas, b) melaksanakan
sosialisasi tentang anak berkebutuhan khusus kepada guru melalui seminar,
workshop dan lain sebagainya, sehingga guru memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang anak berkebutuhan khusus yang valid.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran, saran
serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an dan
Terjemahnya.
Undang-Undang Dasar
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa.
Abdul Wahab, Solichin, Pengantar
Analisis Kebijakan public, Malang: UMM Press, 2011.
Direktorat
Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Jakarta:
Depdiknas, 2007.
Geniofam,
Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Gerai
Ilmu, 2010.
Ilahi, Mohammad
Takdir, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2013.
Iswari,
Mega, Kecakapan Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, Padang: UNP Press,
2008.
Khalsa,
Sirinam, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, Laverett:
Permission Publisher, 2004.
Mudjito
dkk, Pendidikan Inklusif, Jakarta: Baduose Media, 2012.
R.
Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, Surabaya: Universitas
Sebelas Maret, 2013.
Sapon-Shevin,
Mara, Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms, Boston:
Bacon Press, 2007.
Smith,
David Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung:
Nuansa, 2012.
Sunardi, Issues and Problems on
Implementation of Inclusive Education for Disable Children in Indonesia, Tsubaka:
Criced-University of Tsubaka, 2009.
Sunaryo, Manajemen Pendidikan Inklusi, Bandung: FIP UPI,
2009.
Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif, Padang: UNP
Press, 2009.
[1]David Smith, Sekolah
Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, (Bandung: Nuansa, 2012), h.
45
[2]Mara
Sapon-Shevin, Widening the Circle the Power of Inclusive Classrooms, (Boston:
Bacon Press, 2007), h. 10
[3]Tarmansyah, Perspektif
Pendidikan Inklusif Pendidikan Untuk Semua, (Padang:UNP Press, 2009), h. 76
[4]Sirinam Khalsa,
Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, (Laverett:
Permission Publisher, 2004), h. 2
[5]Geniofam, Mengasuh
dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Gerai Ilmu, 2010),
h. 61
[6]Direktorat
Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, (Jakarta:
Depdiknas, 2007), h. 4
[7]Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 1
[8] Permendinas
Nomor 70 tahun 2009, pasal 3
[9]Mega Iswari, Kecakapan
Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, (Padang: UNP Press, 2008), h. 40
[10]Mudjito dkk, Pendidikan
Inklusif, (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25
[11]Mega Iswari, op.cit.,
h. 45-76
[12]Mohammad Takdir
Ilahi, Pendidikan Inklusif: Konsep dan aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013), h. 51-52
[13]R. Indianto, Materi
Implementasi Pendidikan Inklusi, (Surabaya: Universitas Sebelas Maret,
2013), h. 21-22
[14]Direktorat
Pembinaan SLB, op.cit., h. 3-4
[15]Tarmansyah, op.cit.,
h. 105-107
[16]Sunaryo, Manajemen
Pendidikan Inklusi, (Bandung: FIP UPI, 2009), h. 9-10
[17]Sunardi, Issues and Problems on Implementation of Inclusive
Education for Disable Children in Indonesia, (Tsubaka: Criced-University of
Tsubaka, 2009), h. 6
[18]Solichin
Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan
public, (Malang: UMM Press, 2011), h. 135